Oleh : Dandossi Matram
Komisaris PT Optima Kharya Capital Management
Krisis keuangan di Amerika Serikat dan global sudah terjadi, bailout sudah disetujui, dan dunia mulai berjuang memulihkan diri. Bagaimanakah dampak dari krisis ini bagi Indonesia? Apakah krisis ini ancaman ataukah malah peluang bagi Indonesia?
Kita lihat, bagaimanakah kondisi AS saat ini? Krisis telah memecahkan gelembung (kesuksesan) ekonomi AS yang dibiayai dengan utang dari domestik dan global. Nilai aset yang dibiayai dengan utang, nilainya di bawah nilai nominal surat utang.
Pasar properti berhenti, nilai properti anjlok, pemilik rumah yang berutang gagal bayar cicilan, perusahaan penerbit surat utang juga gagal bayar� utangnya. Investor rugi besar, hanya memegang kertas serta jaminan dalam bentuk properti yang anjlok nilainya. Pasar modal hancur. Dana tunai menjadi barang langka (credit crunch).
Ekonomi menjadi susah, pengangguran meningkat, permintaan pasar melemah, dan pertumbuhan ekonomi turun menuju resesi, kredit macet semakin meningkat. Pemerintah AS semakin susah karena nilai utang mereka telah membuat gajah saja menangis.
Kondisi krisis yang ada membuat Pemerintah AS serba susah. Menaikkan pajak untuk mengurangi defisit berisiko demonstrasi, menurunkan bunga untuk mendorong ekonomi berbahaya bagi nilai tukar dolar AS dan menaikkan inflasi.
Menambah utang, harus dengan bunga yang tinggi mengingat investor tidak akan percaya lagi seperti sebelum krisis. Padahal bunga tinggi akan lebih merepotkan pemilik rumah ex subprime mortgage.
Kondisi ini akan lebih ruwet lagi setelah publik menyadari bahwa bailout baru bisa jalan dalam beberapa bulan ke depan. Lebih konyolnya, bila bailout ternyata tidak efektif berjalan. Hari-hari ini bagi bangsa AS adalah hari-hari yang mendebarkan, yang jauh lebih menyeramkan daripada melihat dua pesawat menghajar WTC saat 9/11.
Fakta sejarah
Sejarah menunjukkan, pasca krisis moneter Indonesia, setiap kali ekonomi AS bermasalah besar (2001 pra 9/11 dan pasca 9/11, Enron, serta 2007), Indonesia ternyata malah berada pada posisi yang diuntungkan.
Ketika AS bermasalah, The Fed selalu menurunkan suku bunga untuk memulihkan ekonominya, yang berakibat nilai dolar AS selalu melemah, yang membuat nilai rupiah stabil di kisaran Rp9.000, sehingga Bank Indonesia bisa menurunkan tingkat suku bunga SBI atau BI Rate untuk mendorong ekonomi. Hal ini yang selalu terjadi yang mana bagus bagi Indonesia.
Mengenai ekspor Indonesia, krisis di AS tidak berpengaruh karena nilai ekspor langsung Indonesia memang kecil. Ketakutan AS terhadap terorisme dan tidak stabilnya politik Indonesia serta sikap bermusuhan AS setelah pemisahan Timor Timur membuat Indonesia bukan negara yang spesial bagi AS.
Akibatnya ekspor Indonesia lebih merata ke berbagai negara di dunia dan tidak bergantung pada AS seperti negara lainnya. Sebuah berkah tersendiri untuk Indonesia.
Akibatnya, Indonesia lebih mengembangkan pasar lain dan pasar domestik. Krisis moneter 1998 ternyata menciptakan banyak entrepreneur baru, membuat ekonomi domestik semakin kuat.
Utang luar negeri pra krisis moneter yang ternyata malah menyusahkan bangsa ini, membuat Indonesia lebih mengeksploitasi pasar utang domestik. Sehingga ketergantungan terhadap kreditor asing anjlok. Saat ini, kekuatan dana pihak ketiga telah mulai mengalir ke sektor produksi dengan lebih efektif dibandingkan dengan era sebelumnya. Indonesia sekarang beda dengan Indonesia beberapa tahun yang lalu.
Bank semakin prudent dan berhati-hati. Malah sering kelewatan hati-hati sehingga pertumbuhan ekonomi terasa lambat bertumbuh, ditunjukkan dengan LDR yang rendah beberapa tahun yang lalu. BI juga sangat prudent dan hati-hati. Bahkan saking hati-hatinya, bulan lalu hampir saja melakukan blunder dengan menaikkan bunga yang sebenarnya tidak perlu yang sempat mengguncang pasar uang.
Untung saja cepat dikoreksi dalam bentuk pemberian fasilitas Repo dengan bunga yang lebih rendah. Hampir saja pasar uang Indonesia krisis karena kebijakan yang terlalu berhati-hati. Hal ini juga sempat disentil oleh Jusuf Kalla kepada Gubernur BI Boediono.
Kegiatan pasar uang yang semakin efisien dengan sistem channeling yang luas telah membantu distribusi modal kerja dan kredit secara lebih efektif, tetapi prudent.
Pasar domestik yang kuat telah menjadi motor penggerak ekonomi yang selanjutnya menjadi daya tarik asing investasi ke Indonesia. Dan ini tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Pola China yang lebih dulu memperkuat pasar domestik yang besar untuk menarik investor, secara tidak sengaja diikuti dan saat ini Indonesia memiliki pasar domestik yang kuat.
Menghadapi krisis di depan mata, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tetap bertumbuh. Kebijakan yang sudah ada dan berhasil� menghidupkan ekonomi saat ini dipertahankan sambil mempertajam beberapa kebijakan strategis. Apa saja itu?
Nilai rupiah hendaknya tidak dibiarkan begitu saja liar. Inter-vensi temporary lebih baik daripada kenaikan BI Rate yang permanen. Berkurangnya cadangan devisa seharusnya tidak perlu ditakuti mengingat kebutuhan likuiditas investor asing memang sedang besar dan tidak bisa ditahan.
Pemberian kredit mulai diperketat hanya untuk kebutuhan modal kerja dan investasi yang memang harus dilakukan dan pasti aman. Kredit untuk penambahan kapasitas atau ekspansi yang tidak bisa langsung fully utilized sebisa mungkin ditunda hingga semester II/2009. Tujuannya mengurangi risiko kegagalan bisnis yang bisa merugikan ekonomi dalam hal krisis global semakin membesar dan memengaruhi Indonesia.�
Kebijakan subsidi baik BBM maupun listrik tetap dipertahankan untuk mempertahankan daya beli pasar. Apabila defisit anggaran aman, belanja pemerintah termasuk pemerintah daerah secara disiplin dilakukan untuk membantu roda ekonomi terus berputar.
Kondisi Indonesia dengan segala kekuatan dan kelemahannya saat ini, posisi Indonesia termasuk lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Kalau selama krisis moneter kita bisa tetap tumbuh dan berkembang, mengapa hari ini kita takut menghadapi krisis?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment