Pertamina mengumunkan kenaikan harga elpiji 12 kg dan 50 Kg, dalam situasi dan kondisi masyarakat saat ini yang sangat sulit, dimana dampak dari kenaikan BBM beberapa waktu kemarin saja sudah membuat kehidupan yang teramat sulit. Menaikkan harga elpiji banyak menuai kecaman, kritikan khususnya dari Ibu-ibu yang sudah sangat dipusingkan dengan tingginya biaya hidup sehari-hari.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia akan melakukan "Class Action" atas kebijaksanaan ini, meski pihak Pertamina sibuk mengeluarkan berbagai alasan dan pembenaran atas kebijaksanaan ini. Pihak Pertamina menerangkan bahwa "Proyek pengadaan elpiji" selama ini memberikan kerugian sebesar 6-7 Triliun setiap tahunnya. Elpiji yang secara hitungan harga pasar dunia seharusnya Rp. 11.400/kg harus dijual Pertamina dengan harga Rp. 4.000 s/d Rp 5.000/ kg, besaran nilai subsidi inilah yang dirasakan sangat memberatkan Pertamina. Pertamina sebagai Perusahaan Negara wajib menjalankan fungsi PSO (Public Service Obligation).
Kebutuhan konsumsi nasional untuk elpiji dikatakan 2,2 juta ton, Pertamina hanya mampu mengahasilkan 900.000 ton, jadi ada 1,3 juta ton yang harus dibeli Pertamina dari pihak ke-3 dengan harga pasar, kekurangan 1,3 juta ton tersebut terbagi : 900.000 ton dibeli dari dalam negri dan 400.000 ton di Impor dari Luar Negri yang pasti dengan harga Pasar yang berlaku.
Kewajiban Pertamina lainnya adalah memberikan deviden kepada Pemerintah, di tahun 2007 Pertamina memberikan deviden sebesar 11 Triliun kepada pemerintah.
Faktor diatas merupakan dasar dari kebijaksanaan untuk melepas harga elpiji dengan harga pasar kepada masyarakat, pengecualiannya hanya untuk elpiji yang ukuran 3 kg yang sampai saat ini masih disubsidi oleh Pemerintah. Pertamina berencana akan menaikkan harga elpiji secara bertahap Rp 500/kg setiap bulannya sehingga mencapai harga pasar atau harga ekonominya sebesar Rp 136.800 untuk elpiji ukuran 12 kg.
Bila kita perhatikan bahwa konsumen elpiji ukuran 12 kg adalah masyarakat kebanyakan atau pada umumnya. Pemerintah seharusnya tetap memberikan subsidi untuk ukuran elpiji 12 Kg yang diberitakan bahwa kosnsumsi nasional untuk elpiji ukuran 12 kg adalah sebesar 840.000 ribu ton, sehingga membutuhkan subsidi sebesar Rp. 4,75 Triliun.
Sungguh ironis dimana seiring dengan program konversi minyak tanah ke elpiji, terjadi kenaikan yang cukup tinggi untuk elpiji ukuran 12 kg, perbedaan harga yang cukup tinggi akan berdampak diserbunya elpiji ukuran 3 kg yang dapat menyebabkan kelangkaan dan bisa berakibat kembalinya masyarakat menggunakan minyak tanah. Saat ini kita melihat, mendengar mulai terjadi kelangkaan elpiji ukuran 3 kg, harga yang ada dipasar juga untuk ukuran 12 kg tidak seperti patokan pemerintah. Apakah akan terjadi antrian untuk mendapatkan minyak tanah kembali ?, seperti kejadian lampau, bisa tidak namun juga bisa iya !, bila masyarakat kembali berpaling ke minyak tanah.
Kondisi ini sangat berat bagi masyarakat, kebijaksanaan ini terasa kurang tepat, dimana menjelang puasa, harga-harga barang kebutuhan pokok telah terlebih dahulu naik. Kenaikan ini akan menjadi pendorong naiknya lagi harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. Kenaikan ini juga bisa menaikkan kembali jumlah penduduk miskin, menurunnya daya beli masyarakat yang berdampak kepada pertumbuhan dunia usaha.
Dampak yang sangat besar dapat terjadi di masyarakat dan perlunya penanganan yang lebih serius dari pemerintah akan kebijakan ini. Kebijakan yang tepat sasaran dan tepat waktu adalah sangat diperlukan. Tambahan subsidi sebesar Rp 4,75 Triliun bukanlah menjadi suatu permasalahan besar dari Pemerintah Indonesia demi rakyatnya dalam tujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Salam
No comments:
Post a Comment